Ijabsah

 

Diambil dari pixabay.com

IJABSAH

Aku terbangun tepat pada pukul 3 pagi, saat dingin masih berjaga bersama sunyi. Tidurku kali ini terasa tidak pulas. Bahkan, aku baru bisa tidur pada pukul satu. Aku cemas. Apakah pernikahanku akan berjalan lancar? Apakah nanti lidahku tidak terlipat saat mengucap janji suci? Apakah nanti aku gugup? Apakah calon istriku akan benar-benar menerimaku? Apakah ia akan senang dan bahagia menerimaku? Orang yang sederhana dan biasa-biasa saja adanya ini.

“Selamat tidur, Mas. Semoga mimpi indah. Sampai jumpa besok!” Tulisnya, dengan emoticon senyum tulus dan gambar hati. Pesan singkat dari calon istriku yang tadi malam belum sempat aku baca setidaknya agak menenangkan pikiranku. Tapi tidak dengan jantungku. Dia memaksa berdegup kencang. Lagi, lagi dan lagi.

Bisa dikatakan kami belum pernah kenal sebelumnya. Bertemu secara langsung pun masih dua kali. Pertama, pada saat aku dan keluargaku datang ke rumahnya dan bermaksud meminangnya. Kali kedua, saat dia dan keluarganya datang ke rumahku untuk memastikan dia menerima pinanganku, sekaligus menetapkan tanggal pernikahan kami. Cukup singkat memang perjalanan di mana kami dipertemukan, lebih tepatnya dikenalkan sampai memutuskan untuk menikah.

Sidik, begitu aku memanggilnya. Aku lebih tua satu tahun darinya. Dia adalah teman lamaku yang mengenalkan aku dengan calon istriku. Itupun sebenarnya terucap begitu saja dari mulutnya saat kami ngobrol santai selepas mengajar anak-anak kampung mengaji. Ya, kami berdua kebetulan dipasrahi oleh pak kyai untuk mengajar anak-anak di musola kampung kami.

“Eh, Zuh. Kowe mau kukenalkan sama temanku?”, dengan wajah agak meledek tapi serius. Tetap dengan posisi tangannya yang sedang melinting rokok.

 Aku meneguk kopi yang agak dingin lalu meletakkannya di depanku dan menoleh.

“Ya lihat-lihat dulu dong Dik, cantik apa enggak? Kalo cantik ya, sopo yang gak mau. Hahaha”.

“Wah, ­ojo meremehkan kowe. Aku pastikan sekali kowe lihat parasnya, tergila-gila kowe selamanya!”

Sidik kali ini menunjukkan muka yang lebih serius dari sebelumnya. Dia meletakkan lintingan rokok yang urung dinyalakannya, lalu mengeluarkan gawai dari sakunya.

“Nih, lihat!” Sidik memberikan gawainya padaku.

Aku termangu. Jantungku serasa berdetak lebih kencang. Dunia seperti berhenti sejenak. Benar yang dikatakan Sidik, sekali aku melihatnya pasti aku tergila-gila. Dan sekarang, aku merasa tergila-gila olehnya.

“Heh, kok malah bengong! Oh, atau kamu naksir kan yaa. Gimana, cocok? Cantik kan?”

Aku masih terdiam dan mencoba memastikan apa yang aku rasakan. Sementara Sidik terus saja menggodaku supaya aku mengatakan iya. Walaupun memang aku tak kan berbohong kalu temannya itu benar-benar cantik. Bahkan, sangat cantik.

Rupanya dia adalah teman Sidik saat kuliah di Yogyakarta, anak pertama dari tiga bersaudara. Perempuan asal Surabaya itu, kini mengajar Bahasa Arab di salah satu Madrasah Tsanawiyah di dekat rumahnya. Dia istimewa, sangat istimewa. Selain parasnya yang begitu menawan, dia juga seorang penghafal Al-Qur’an.

Singkat cerita, Sidik itulah yang menjadi perantara di antara kami berdua. Dia menceritakan semua tentang temannya itu, begitu juga sebaliknya. Entah kenapa dari cerita Sidik itu, aku merasa cocok dan mantap untuk meminang Rahma.

“Iya, Dek. Sampai jumpa nanti!” Balasku singkat dengan emoticon senyum juga hati.

Aku bergegas mandi, meskipun dingin benar-benar membuatku menggigil. Setelah mandi, aku menyiapkan pakaian akad dan segala keperluanku untuk tinggal di rumah Rahma sementara waktu. Terdengar ayah, ibu dan adikku juga sudah bangun dan tampaknya sedang antri kamar mandi. Kami semua harus bangun pagi karena kami akan berangkat dari Blitar menuju Surabaya sebelum pukul 5 pagi. Akad nikah dilaksanakan pada pukul 10 pagi.

Selepas subuh, para kerabatku berduyun-duyun datang berkumpul di rumahku. Mulai dari paman, bibi, kakek, nenek serta sepupuku. Total ada tiga kendaraan yang akan ikut dalam rombongan. Ada dua mobil dan satu Elf.

Aku masih di kamar, mencoba melafalkan kembali kalimat yang akan kuucap nanti saat akad. Bukan bahasa Indonesia, tapi aku lebih memilih menggunakan bahasa Arab. Bukan karena istriku guru bahasa Arab, tapi aku punya alasan lain. Aku ingin terlihat keren dan beda dengan teman-temanku yang hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia pada saat akad. Tapi, pilihan itu juga yang membuatku agak gugup. Bagaimana jika nanti yang keluar dari mulutku malah Al-Fatihah? Lalu calon istriku akan tertawa saat aku salah ucap? Tapi, aku sudah berlatih berulang kali. Aku tidak mau kelihatan kaku pada saat mengucap akad.

Sewaktu aku masih di pondok, sebenarnya aku pernah diberi wejangan atau orang-orang pesantren menyebutnya ijazah oleh guruku. Pak Sobir namanya.

Kang, saya punya ijazah untuk kalian gunakan saat mengucapkan ijab dan kabul nanti.” Beliau membuka kitab lawas yang terlihat agak kusut sambil menatap mantap ke kami.

Sontak, aku dan teman-teman sekelasku yang saat itu agak malas dan ngantuk, seketika seperti segar kembali dan antusias. Cepat-cepat kami mengambil posisi wenak dan memperhatikan dengan seksama.

Tema kali ini memang agak membuat semangat. Pernikahan. Akad. Ijab dan kabul. Siapa juga yang tidak tertarik dengan hal indah seperti itu? Semua orang pasti akan mengalaminya. Ya, kecuali orang yang memilih untuk menjomblo seumur hidup.

“Jadi, besok saat Na’ib sudah hampir selesai mengucapkan ijab selepas dia mengatakan khaalan, maka kalian harus cepat menjawab atau menyahut dengan qabiltu nikaakhaha dan seterusnya. Jangan sampai ada jeda! Harus langsung menyambung.” Bangkit dari kursinya lalu mengambil kapur dari meja. Lalu beliau menuliskan hal-hal apa saja yang harus diperhatikan saat akan menikah, termasuk niat yang baik untuk menikah dan kesunahan-kesunahan lainnya.

“Wah, kalo bisa ngajinya babnya tentang nikah terus Pak agar kami semangat!” Gofir tiba-tiba menyahut. Padahal dia baru saja bangun dari tidurnya di kelas.

“Heh, husst! Jangan jujur-jujur, malu tahu sama pak Sobir!” kataku sambil mengeplak kepalanya. Teman-temanku sekelas tertawa karena kericuhan yang kami buat.

Pak Sobir hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Persis seperti namanya, beliau memang selalu sabar menghadapi kami, murid-muridnya yang sering bandel.

Matahari mulai menyingsingkan sedikit sinarnya ke atas. Tapi, agak sedikit remang karena mendung nampak agak tebal. Semua kerabatku yang akan ikut mengantarku semua telah sampai dan siap berangkat. Aku sangat senang dan merasa tenang ketika aku melihat raut wajah mereka yang tampak bahagia. Tapi, sebenarnya aku agak sedih. Sidik, orang yang mengenalkanku dengan Rahma berhalangan ikut. Dia harus pergi ke Jakarta untuk bertemu kliennya yang sudah jauh-jauh hari direncanakan pertemuannya . Sehingga, tentu dia tidak bisa membatalkannya begitu saja.

Kami berangkat pada pukul 5 pagi. Jalanan masih sepi, hanya ada satu dua kendaraan yang berpapasan dengan kami. Aku duduk di samping ayahku di depan yang sedang menyetir. Gawaiku bergetar.

“Mas, udah berangkat?”

“Iya, ini lagi di jalan Dek.”

“Yaudah Mas. Hati-hati di jalan ya!”

Rahma. Dia tampak perhatian sekali denganku. Setidaknya sudah dua hari ini kami sering berbalas pesan via whatssapp. Aku memang hanya sesekali membalas pesan dengan panjang. Bukan karena cuek atau apa, aku hanya masih gugup dan merasa agak kikuk membalas pesan yang dia kirimkan.

Selama perjalanan, mendung menjadi payung yang teduh tapi membasahi. Rintik-rintik hujan memang sesekali reda, tapi lebih sering jatuh. Setelah hampir 5 jam perjalanan, mendung sedikit menyisih. Sinar matahari sudah terlihat agak terang. Jantungku yang selama perjalanan cenderung berdegup normal entah kenapa tiba-tiba berdegup semakin kencang. Rombongan kami akhirnya masuk ke gang yang mengarah cukup dekat ke rumah Rahma.

Kami sampai. Singkat cerita, kami diperkenankan masuk oleh ayah Rahma. Seserahan dan kado pernikahan yang dibawa rombongan kami juga tidak lupa diserahkan. Aku tidak melihat Rahma. Sepertinya dia masih dirias di kamarnya. Aku duduk bersebelahan dengan ayah Rahma, pamannya, ayahku dan pamanku. Kami berbincang-bincang hangat. Jantungku tetap berdetak dengan irama yang kencang.

“Le, sampean sudah siap?”, ayah Rahma menatapku memastikan.

Nggeh Pak, kulo sudah siap.” Ucapku sambil menarik nafas dalam-dalam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 WIB. Makanan untuk para tamu sudah semua dihidangkan. Ada pisang, donat, kacang godhok, pastel, roti dan dadar gulung. Aku urung memakannya. Aku takut nanti kalau aku makan malah membuat tenggorokanku tersendat saat akad. Tak berselang lama, penghulu datang. Dia menyalami seluruh tamu, ayahku, ayah Rahma dan aku. Datangnya sedikit terlambat dari jadwal. Tapi, itu malah membuatku sedikit merasa lega, menyiapkan nyali dan menghilangkan kegugupan yang kuderita.

Setelah berbincang-bincang, memohon maaf atas keterlambatannya dan merasa cukup, pak penghulu lalu menatapku.

“Mau pakai bahasa apa Mas ?”

“Bahasa Arab saja, Pak”, jawabku dengan mantap.

“Okee, dicoba dulu yaa! Bukan pakaian saja yang kalo mau beli harus dicoba, ijab dan kabul juga harus dicoba dulu supaya lancar dan benar.” Celetuknya sambil tertawa kalem.

“. . .  khaalan.”

Qabiltu nikaakhaha wa tazwiijaha bil mahril madzkuur.” Jawabku dengan penuh percaya diri dan mantap.

“Anu Mas, pegucapan huruf ha’ nya kurang tebal. Lebih terdengar seperti kha’ nanti malah beda artinya. Coba diulangi ya!”

Aku kaget dan entah kenapa aku semakin gugup. Aku lebih gugup dari sebelum-sebelumnya. Aku merasa sudah benar melafalkannya tapi masih salah. Masa aku gagal nikah karena perkara huruf ha’ dan kha’ ? Pikirku, Kampret!

Aku mencoba tenang. Sekali aku mengulanginya dan aku masih salah. Ah, sial! Jangan lagi! Aku  tak boleh terlihat kelabakan di depan calon mertuaku, apalagi calon istriku seorang peghafal Al-Qur’an.

“Sekali lagi ya Mas Bro. Sing tenang, kuasai medan tempur!”, sahut Pak Penghulu yang sempat membuat mentalku down.

Kali ini, aku benar-benar menguasai medan tempur. Kedua kali aku mengulanginya, pelafalanku lancar dan benar. Pak Penghulu mengisyaratkan untuk melanjutkan prosesi akad yang sesungguhnya. Dokumen, juru kamera, dan saksi semuanya telah siap. Aku mencoba menengok ke ruang di mana tamu perempuan ditempatkan. Lagi-lagi, aku masih belum melihat Rahma calon istriku.

“Mari kita mulai, . . . . . . . . . khaalan.”

“. . .  bil mahril madzkuur.”

“Saaaah!”

“Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin”.

Aku lega. Aku bahagia. Aku merasa ingin menangis tapi air mataku hanya menetes. Bukan! Mataku hanya berkaca-kaca. Rasa gugup yang menghantuiku sepanjang malam kini telah hilang.

Bersamaan dengan itu, Rahma dituntun oleh kedua saudaranya berjalan ke arahku. Dengan Kebaya modern berwarna putih dan make up-nya yang sederhana membuatnya terlihat semakin cantik. Kerudungnya putih dengan pernak-pernik yang menarik. Aku benar-benar terkesima. Jantungku bahkan berdetak lebih kencang. Ah sial, ia menatapku! Ia senyum malu-malu tapi kurasa manis sekali, bahkan mungkin lebih manis dari madu. Aku memalingkan wajahku ke depan, melihat raut muka kerabat-kerabatku yang juga tampak ikut bahagia.

Rahma duduk di sampingku. Menandatangani dokumen-dokumen pernikahan kami dengan arahan Pak Penghulu. Kami berfoto berdua memamerkan buku nikah. Lalu berfoto sebagai simbol untuk penyerahan mahar.

“Gimana Mas Bro, udah lega?”. Celetuk Pak Penghulu sambil merapikan dokumen-dokumen yang telah aku dan Rahma tandatangani.

“Alhamdulillah, lega Pak. Matur nuwun.” Aku sedikit menoleh ke Rahma, istriku. Dia juga terlihat tersenyum. Masih malu-malu. Cantik.

“Selamat ya, Mas Zuhri sama Mbak Rahma! Sekarang kalian bebas melakukan apapun.” Celetuknya lagi sambil tertawa jahat. Sontak semua orang yang memperhatikan kami juga ikut tertawa. Aku pun agak senyum-senyum malu dan tidak berani menatap istriku. Mungkin juga dia merasa malu.

“Gini ya Mas, saya beritahu. Cinta sejati itu tumbuh perlahan-lahan dan mekar saat janji suci terucap. Tapi ingat! cinta itu harus dirawat, wajib disirami setiap hari. Jangan sampai dibiarkan kering dan tandus seperti Gurun Sahara!” Paparnya. Aku mengangguk-angguk saja. Kupikir, Pak Penghulu memang sangat berpengalaman dalam urusan cinta.

Hari ini, rasanya aku benar-benar bahagia. Aku merasakan pancaran kebahagiaan dari orang-orang terdekatku. Aku merasakan indahnya kasih sayang dari mereka. Meskipun mereka sehari-harinya disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing, tetapi hari ini mereka mau menyempatkan hadir di acara yang paling bersejarah dalam hidupku. Itu artinya mereka sebenarnya masih sama-sama saling memperhatikan satu sama lain sebagai sebuah keluarga. Sangat indah. Apalagi, aku mendapatkan istri yang tampaknya aku tidak bisa mendeskripsikan secara sempurna dengan kata-kata. Singkatnya, dia begitu istimewa. Dia terlihat bahagia sekali hari ini, terlihat dari wajahnya yang tidak sekalipun cemberut. Sangat bahagia, ku rasa. Juga dengan keluarga istriku yang tentunya juga sangat bahagia. Sebenarnya dari semua kebahagiaan yang sudah ada di depan mata, hanya satu yang belum kudapati. Malam pertama. Hahaha. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

  1. Keren banget asli...

    Harus berguru kayak e ..
    Ini true story ya ..

    BalasHapus
  2. Keren banget asli
    Maa syaa Allah

    True story yak

    Harus berguru nih kayak e..

    BalasHapus
  3. Sangat menarik, lanjutkan cerita malam pertamanya kak 😜

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer