Terlanjur Bilang
Terlanjur Bilang
Langit
terlihat terang. Berjubah biru dengan motif awan-awan putih. Matahari sudah
agak meninggi. Seperti biasa, aku baru beranjak dari kasur. Meregangkan
otot-otot yang mungkin tegang karena salah posisi. Membuka gawaiku yang
tergeletak di sebelah bantal. Ada dua notifikasi pesan. Satu dari klien jasa
penerjemahan yang kemarin memberikan job. Satu lagi, dari Susan, kekasihku.
“Sampai
jumpa besok mas, on time yaa.” Tulisnya.
Aduh mati
aku! Bisa-bisanya aku lupa. Hari ini aku ada janji menemani Susan pergi ke
Malang. Dia ingin berlibur di sana, tentunya denganku. Tanpa membalas pesannya,
aku langsung bergegas menuju kamar mandi. Lalu bersiap-siap untuk berangkat dan
menuju rumah Susan.
Sesampainya
di rumah Susan, dia sudah menunggu di teras rumahnya agak lama. Rumah dengan
desain semi modern yang teduh dengan dua pohon mangga di depannya. Dan tanpa ku
sadari, dia berulang kali menelfonku selama di jalan. Mukanya sedikit cemberut.
Tampak sedikit marah, tapi tidak sepenuhnya. Kesal. Tapi masih cantik.
“Iiiih
sebel deh. Pesan gak dibalas. Telfon gak diangkat. Tahu-tahu udah sampai aja.
Bikin kaget aja kamu. Selalu aja gitu”, Dia mengeluh sambil mencubit
pinggangku.
“Iya iyaa,
maaf. Senyum dong.”
Mukanya
agak memerah. Senyumnya merekah. Senyum yang cukup dan tidak terlalu manis itulah
yang menjadi alasan mengapa aku tak pernah sedikitpun membiarkan kesedihan
merengkuhnya. Dunia akan kacau jika dia menangis. Dunia pasti akan tampak semrawut
jika dia marah. Setidaknya, bagiku.
Susan
mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Ternyata, sudah ada ayah Susan yang
kebetulan baru saja pulang dari luar negeri duduk dengan teh hangat di
depannya. Menghisap satu batang cerutu lintingan sendiri, sambil membaca
koran yang terlihat masih mulus. Menatapku dan tersenyum.
“Pa, ini mas
Rudi yang Susan ceritakan kemarin.” Susan mengenalkanku dengan antusias.
“Oh nak
Rudi to. Silahkan duduk.” Meletakkan koran di sampingnya, tidak dengan cerutunya.
Aku gugup.
Baru kali ini aku bertemu dengan ayah Susan. Sebelumnya, aku hanya pernah
bertemu ibunya. Ayahnya memang bekerja di luar negeri. Sebagai duta besar.
Kali ini,
beliau meletakkan cerutunya di asbak sebelah teh yang sudah setengah beliau
minum. Terdengar gemericik air dari dapur. Tampaknya, ibunya sedang mencuci
alat-alat dapur.
“Jadi
begini nak Rudi. Berhubung kalian sudah kenal dekat cukup lama, sudah saling
mengenal satu sama lain. Maka, sebaiknya hubungan kalian dilanjutkan ke tahap
akhir. Pernikahan. Tidak ada alasan mengenai kurang siap secara materi. Karena
Tuhan sudah menakar rezeki setiap makhuknya sedemikian rupa.”
Deg! Aku sangat kaget dengan apa yang
dikatakan ayah Susan. Perasaanku campur aduk. Antara senang, kaget, dan takut.
Senang karena itu berarti ayah Susan merestui hubungan kami. Takut karena aku
masih belum tahu setelah ini apa yang akan terjadi.
Kriiiiiiiing
! Kriiiiiiiing ! Kriiiiiiiiiiing! Kriiiiiing !
Gawaiku
berdering dan bergetar. Aku meraih ponselku lalu mematikannya. Meletakkannya
kembali di samping bantal. Sial ! Aku bangun saat mimpiku sedang indah-indahnya.
Susan. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering bermimpi tentangnya. Mantan
terindah yang pernah ku miliki. Atau lebih tepatnya, mantan satu-satunya dalam
hidupku.
Di luar,
pagi akan segera berbagi tempat dengan siang. Matahari sudah bersiap-siap melangkah
ke tempat yang lebih tinggi. Aku duduk. Sedikit melamun. Lalu melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Kemudian kembali lagi ke kamar.
Suasana
kos tampak lengang. Maklum saja, ini akhir pekan. Aku pergi menuju warung
langgananku, tidak jauh dari kos. Makan, menyalakan kretek, meneguk kopi.
Setelah membayar aku mampir ke toko buku yang letaknya agak jauh dari warung.
Berjalan kaki, sambil berolahraga pikirku. Lagi pula, aku juga malas
berolahraga. Aku lebih suka duduk dan membaca buku. Tapi, hari ini stok
bacaanku sedang habis. Makanya aku harus pergi membelinya.
Sesampainya
di toko buku, aku tidak banyak mengamati sekeliling. Aku langsung masuk dan
menuju tempat di mana buku-buku semacam novel dan sejarah tertata rapi. Di
sebuah sudut, dua rak berjejer bersampingan. Aku mengambil novel karya Puthut
EA yang berjudul “Cinta tak pernah datang tepat waktu.” Membaca blurb
yang ada di belakangnya dan tampaknya menarik.
“Mas Rudi?”
Aku
menoleh. Perempuan cantik berkerudung merah jambu dengan pakaian gamis hitam
ala-ala ukhti berdiri di sampingku. Memberikan senyumnya padaku. Manis.
Aku ingat sekarang.
“Susan
ya?” balasku. Dia mengangguk. Aku meletakkan buku yang tadinya ku ambil ke
tempatnya semula.
Suasana
tiba-tiba hening. Hanya terdengar suara angin yang terhempas dari kipas di atas
di antara kami berdua. Memori-memori
empat tahun lalu yang sudah ku pendam dalam-dalam dengan mudah memenuhi
kepalaku. Kecuali perasaanku. Dari dulu, perasaanku memang enggan berubah.
Empat
tahun lalu, di sebuah kafe kecil mepet sawah. Saat bulan purnama yang
seharusnya sudah naik dan eksis di atas langit, tidak tampak karena awan
penabur hujan sedang duduk di sana. Aku sudah menunggu agak lama. Kretekku
sudah sepertiga terhisap. Susan datang dengan wajah yang tidak seperti
biasanya. Meskipun tetap cantik. Tapi tidak dengan mood-nya, pikirku.
Ada yang tidak beres.
Dia duduk di depanku. Meletakkan tas kecilnya
di sebelah kopi yang belum sekalipun aku teguk. Masih panas. Aku melempar
senyum padanya. Tapi dia enggan menangkap. Dia memalingkan wajahnya ke samping.
Memandang hamparan hijau sawah yang kini terlihat hitam karena gelap. Aku
mematikan kretekku.
Angin
malam berhembus menggerakkan tirai bambu yang membatasi sinar matahari saat
siang dengan teras kafe. Susan membuka tas kecilnya, mengeluarkan selembar
kertas. Menunjukkannya padaku. Kertas itu adalah surat tanda dia diterima di
salah satu kampus di Mesir. Negara di mana ayahnya bekerja sebagai duta besar.
Aku
terkejut. Dia menjelaskan maksud dan alasannya mengenai kertas itu. Salah satu
poin yang diutarakannya itu menyangkut kelanjutan hubungan kami. Dia ingin
mengakhiri meskipun aku menolak. Tapi, dia memaksa dan aku terpaksa
melepaskannya. Dia tak ingin membebani pikiranku dengan keberadanya di Mesir. Dia
juga tidak ingin studinya terhalang dan terhambat karenaku. Dia pun tahu,
sekalipun dia meminta aku menikahinya, aku juga belum berani. Hidupku masih amburadul,
pengangguran yang sesekali bekerja serabutan. Maklum, selama setengah tahun
setelah aku lulus sarjana aku masih belum melamar pekerjaan sekalipun.
Hujan
turun. Langit mungkin memahami perasaanku. Susan bangkit dari duduknya.
Tersenyum tapi agak memaksa. Mengulurkan tangannya. Kami bersalaman. Dia pamit.
“Aku
mencintaimu”, ucapku.
Dia
menundukkan kepalanya. Membalikkan badannya dan berjalan keluar tanpa mengucap
sepatah katapun. Aku hampir menangis tapi ku tahan. Aku pulang, saat hujan
turun deras-derasnya. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berhubungan
denganya.
****
Susan
tampak teliti dengan buku di depannya. Aku memerhatikannya, masih tetap sama.
Cantik, bahkan lebih cantik. Hatiku sedikit berdegup dengan intensitas yang
lebih tinggi. Tiba-tiba ia menoleh. Aku memalingkan pandangan mataku ke
buku-buku di depanku.
“Bagaimana
kabarmu ?” celetuknya.
“Cukup
baik, tapi agak sedikit sama dengan empat tahun yang lalu.”
“Maksutmu
?”
Aku
menghela nafas panjang. Aku tak berani menatapnya, meskipun ingin.
“Tidak,
lupakan. Bagaimana denganmu ?”
“Tidak,
jelaskan dulu apa yang barusan kamu katakan.”
Dia menatapku
tapi buru-buru memalingkan matanya ke samping. Kali ini aku berani menatapnya.
Hatiku berdetak kencang. Semakin kencang dan nafasku agak tidak beraturan.
“Aku masih
mencintaimu dan ingin mengikatmu dengan janji suci.”
“Pernikahan?”
dia mengernyitkan wajahnya.
Aku
mengangguk. Tapi aku merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja ku katakan.
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Seperti ada yang menuntunku
tanpa ku sadari.
Dia tampak
shock dengan pernyataanku. Wajahnya memerah tapi tidak ada senyum yang
merekah. Dia mengulurkan tangannya padaku. Dia menundukkan kepalanya.
Menunjukkan jari manisnya, tanpa mengatakan satu patah katapun. Ada cincin emas
melingkar di jari manisnya.
Aku terkejut.
Aku merasa bodoh mendadak. Tapi memang cinta itu kadang membuat seseorang
menjadi bodoh bahkan untuk orang pintar sekalipun. Tapi bukan itu maksudku. Kenapa
aku mengungkapkan hal yang sedikit tabu di usia yang lebih dari seperempat abad
ini kepada orang yang baru aku temui setelah tidak bertemu sekalipun selama
empat tahun sebelum aku bertanya lebih jauh. Bodoh!
“Maaf, aku
tak tahu jika kamu sudah bersuami”, aku tak lagi berani menatapnya. Aku
mengambil lagi buku yang tadi ku letakkan ke tempat asalnya.
“Tidak,
aku yang salah. Aku yang memaksamu untuk menjelaskan maksudmu tadi. Aku hanya
tidak menyangka perasaan itu masih ada di benakmu, setelah sekian tahun kita
tak bertemu.”
Aku
mengangguk-angguk saja dan buru-buru pergi ke kasir. Dia masih tetap berdiri
dengan muka yang cukup tegang. Aku tak berani menatapnya lagi, pun dengan dia.
Uhh.. sad :`(
BalasHapusTapi keren, ceritanya mengalir 🌷
BalasHapusHingga masuk ke relung hati, mak deg...