Terlanjur Bilang

Gambar dari pixabay.com

Terlanjur Bilang

Langit terlihat terang. Berjubah biru dengan motif awan-awan putih. Matahari sudah agak meninggi. Seperti biasa, aku baru beranjak dari kasur. Meregangkan otot-otot yang mungkin tegang karena salah posisi. Membuka gawaiku yang tergeletak di sebelah bantal. Ada dua notifikasi pesan. Satu dari klien jasa penerjemahan yang kemarin memberikan job. Satu lagi, dari Susan, kekasihku.

“Sampai jumpa besok mas, on time yaa.” Tulisnya.

Aduh mati aku! Bisa-bisanya aku lupa. Hari ini aku ada janji menemani Susan pergi ke Malang. Dia ingin berlibur di sana, tentunya denganku. Tanpa membalas pesannya, aku langsung bergegas menuju kamar mandi. Lalu bersiap-siap untuk berangkat dan menuju rumah Susan.

Sesampainya di rumah Susan, dia sudah menunggu di teras rumahnya agak lama. Rumah dengan desain semi modern yang teduh dengan dua pohon mangga di depannya. Dan tanpa ku sadari, dia berulang kali menelfonku selama di jalan. Mukanya sedikit cemberut. Tampak sedikit marah, tapi tidak sepenuhnya. Kesal. Tapi masih cantik.

“Iiiih sebel deh. Pesan gak dibalas. Telfon gak diangkat. Tahu-tahu udah sampai aja. Bikin kaget aja kamu. Selalu aja gitu”, Dia mengeluh sambil mencubit pinggangku.

“Iya iyaa, maaf. Senyum dong.”

Mukanya agak memerah. Senyumnya merekah. Senyum yang cukup dan tidak terlalu manis itulah yang menjadi alasan mengapa aku tak pernah sedikitpun membiarkan kesedihan merengkuhnya. Dunia akan kacau jika dia menangis. Dunia pasti akan tampak semrawut jika dia marah. Setidaknya, bagiku.

Susan mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Ternyata, sudah ada ayah Susan yang kebetulan baru saja pulang dari luar negeri duduk dengan teh hangat di depannya. Menghisap satu batang cerutu lintingan sendiri, sambil membaca koran yang terlihat masih mulus. Menatapku dan tersenyum.

“Pa, ini mas Rudi yang Susan ceritakan kemarin.” Susan mengenalkanku dengan antusias.

“Oh nak Rudi to. Silahkan duduk.” Meletakkan koran di sampingnya, tidak dengan cerutunya.

Aku gugup. Baru kali ini aku bertemu dengan ayah Susan. Sebelumnya, aku hanya pernah bertemu ibunya. Ayahnya memang bekerja di luar negeri. Sebagai duta besar.

Kali ini, beliau meletakkan cerutunya di asbak sebelah teh yang sudah setengah beliau minum. Terdengar gemericik air dari dapur. Tampaknya, ibunya sedang mencuci alat-alat dapur.

“Jadi begini nak Rudi. Berhubung kalian sudah kenal dekat cukup lama, sudah saling mengenal satu sama lain. Maka, sebaiknya hubungan kalian dilanjutkan ke tahap akhir. Pernikahan. Tidak ada alasan mengenai kurang siap secara materi. Karena Tuhan sudah menakar rezeki setiap makhuknya sedemikian rupa.”

Deg! Aku sangat kaget dengan apa yang dikatakan ayah Susan. Perasaanku campur aduk. Antara senang, kaget, dan takut. Senang karena itu berarti ayah Susan merestui hubungan kami. Takut karena aku masih belum tahu setelah ini apa yang akan terjadi.

Kriiiiiiiing ! Kriiiiiiiing ! Kriiiiiiiiiiing! Kriiiiiing !

Gawaiku berdering dan bergetar. Aku meraih ponselku lalu mematikannya. Meletakkannya kembali di samping bantal. Sial ! Aku bangun saat mimpiku sedang indah-indahnya. Susan. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering bermimpi tentangnya. Mantan terindah yang pernah ku miliki. Atau lebih tepatnya, mantan satu-satunya dalam hidupku.

Di luar, pagi akan segera berbagi tempat dengan siang. Matahari sudah bersiap-siap melangkah ke tempat yang lebih tinggi. Aku duduk. Sedikit melamun. Lalu  melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian kembali lagi ke kamar.

Suasana kos tampak lengang. Maklum saja, ini akhir pekan. Aku pergi menuju warung langgananku, tidak jauh dari kos. Makan, menyalakan kretek, meneguk kopi. Setelah membayar aku mampir ke toko buku yang letaknya agak jauh dari warung. Berjalan kaki, sambil berolahraga pikirku. Lagi pula, aku juga malas berolahraga. Aku lebih suka duduk dan membaca buku. Tapi, hari ini stok bacaanku sedang habis. Makanya aku harus pergi membelinya.

Sesampainya di toko buku, aku tidak banyak mengamati sekeliling. Aku langsung masuk dan menuju tempat di mana buku-buku semacam novel dan sejarah tertata rapi. Di sebuah sudut, dua rak berjejer bersampingan. Aku mengambil novel karya Puthut EA yang berjudul “Cinta tak pernah datang tepat waktu.” Membaca blurb yang ada di belakangnya dan tampaknya menarik.

“Mas Rudi?”

Aku menoleh. Perempuan cantik berkerudung merah jambu dengan pakaian gamis hitam ala-ala ukhti berdiri di sampingku. Memberikan senyumnya padaku. Manis. Aku ingat sekarang.

“Susan ya?” balasku. Dia mengangguk. Aku meletakkan buku yang tadinya ku ambil ke tempatnya semula.

Suasana tiba-tiba hening. Hanya terdengar suara angin yang terhempas dari kipas di atas di  antara kami berdua. Memori-memori empat tahun lalu yang sudah ku pendam dalam-dalam dengan mudah memenuhi kepalaku. Kecuali perasaanku. Dari dulu, perasaanku memang enggan berubah.

Empat tahun lalu, di sebuah kafe kecil mepet sawah. Saat bulan purnama yang seharusnya sudah naik dan eksis di atas langit, tidak tampak karena awan penabur hujan sedang duduk di sana. Aku sudah menunggu agak lama. Kretekku sudah sepertiga terhisap. Susan datang dengan wajah yang tidak seperti biasanya. Meskipun tetap cantik. Tapi tidak dengan mood-nya, pikirku. Ada yang tidak beres.

 Dia duduk di depanku. Meletakkan tas kecilnya di sebelah kopi yang belum sekalipun aku teguk. Masih panas. Aku melempar senyum padanya. Tapi dia enggan menangkap. Dia memalingkan wajahnya ke samping. Memandang hamparan hijau sawah yang kini terlihat hitam karena gelap. Aku mematikan kretekku.

Angin malam berhembus menggerakkan tirai bambu yang membatasi sinar matahari saat siang dengan teras kafe. Susan membuka tas kecilnya, mengeluarkan selembar kertas. Menunjukkannya padaku. Kertas itu adalah surat tanda dia diterima di salah satu kampus di Mesir. Negara di mana ayahnya bekerja sebagai duta besar.

Aku terkejut. Dia menjelaskan maksud dan alasannya mengenai kertas itu. Salah satu poin yang diutarakannya itu menyangkut kelanjutan hubungan kami. Dia ingin mengakhiri meskipun aku menolak. Tapi, dia memaksa dan aku terpaksa melepaskannya. Dia tak ingin membebani pikiranku dengan keberadanya di Mesir. Dia juga tidak ingin studinya terhalang dan terhambat karenaku. Dia pun tahu, sekalipun dia meminta aku menikahinya, aku juga belum berani. Hidupku masih amburadul, pengangguran yang sesekali bekerja serabutan. Maklum, selama setengah tahun setelah aku lulus sarjana aku masih belum melamar pekerjaan sekalipun.

Hujan turun. Langit mungkin memahami perasaanku. Susan bangkit dari duduknya. Tersenyum tapi agak memaksa. Mengulurkan tangannya. Kami bersalaman. Dia pamit.

“Aku mencintaimu”, ucapku.

Dia menundukkan kepalanya. Membalikkan badannya dan berjalan keluar tanpa mengucap sepatah katapun. Aku hampir menangis tapi ku tahan. Aku pulang, saat hujan turun deras-derasnya. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berhubungan denganya.

****

Susan tampak teliti dengan buku di depannya. Aku memerhatikannya, masih tetap sama. Cantik, bahkan lebih cantik. Hatiku sedikit berdegup dengan intensitas yang lebih tinggi. Tiba-tiba ia menoleh. Aku memalingkan pandangan mataku ke buku-buku di depanku.

“Bagaimana kabarmu ?” celetuknya.

“Cukup baik, tapi agak sedikit sama dengan empat tahun yang lalu.”

“Maksutmu ?”

Aku menghela nafas panjang. Aku tak berani menatapnya, meskipun ingin.

“Tidak, lupakan. Bagaimana denganmu ?”

“Tidak, jelaskan dulu apa yang barusan kamu katakan.”

Dia menatapku tapi buru-buru memalingkan matanya ke samping. Kali ini aku berani menatapnya. Hatiku berdetak kencang. Semakin kencang dan nafasku agak tidak beraturan.

“Aku masih mencintaimu dan ingin mengikatmu dengan janji suci.”

“Pernikahan?” dia mengernyitkan wajahnya.

Aku mengangguk. Tapi aku merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja ku katakan. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Seperti ada yang menuntunku tanpa ku sadari.

Dia tampak shock dengan pernyataanku. Wajahnya memerah tapi tidak ada senyum yang merekah. Dia mengulurkan tangannya padaku. Dia menundukkan kepalanya. Menunjukkan jari manisnya, tanpa mengatakan satu patah katapun. Ada cincin emas melingkar di jari manisnya.

Aku terkejut. Aku merasa bodoh mendadak. Tapi memang cinta itu kadang membuat seseorang menjadi bodoh bahkan untuk orang pintar sekalipun. Tapi bukan itu maksudku. Kenapa aku mengungkapkan hal yang sedikit tabu di usia yang lebih dari seperempat abad ini kepada orang yang baru aku temui setelah tidak bertemu sekalipun selama empat tahun sebelum aku bertanya lebih jauh. Bodoh!

“Maaf, aku tak tahu jika kamu sudah bersuami”, aku tak lagi berani menatapnya. Aku mengambil lagi buku yang tadi ku letakkan ke tempat asalnya.

“Tidak, aku yang salah. Aku yang memaksamu untuk menjelaskan maksudmu tadi. Aku hanya tidak menyangka perasaan itu masih ada di benakmu, setelah sekian tahun kita tak bertemu.”

Aku mengangguk-angguk saja dan buru-buru pergi ke kasir. Dia masih tetap berdiri dengan muka yang cukup tegang. Aku tak berani menatapnya lagi, pun dengan dia.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer